UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa hubungan industrial yang harmonis,
dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila;
b.
bahwa dalam era industrialisasi, masalah
perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks,
sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;
c.
bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun
1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan masyarakat;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Mengingat:
1.
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 24, Pasal
25, Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
3.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3316);
4.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
5.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989);
6.
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279).
Dengan
persetujuan bersama antara:
DAN
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
I
Dalam Undang-undang
ini yang dimaksud dengan:
1.
Perselisihan Hubungan Industrial adalah
perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan;
2.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang
timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
3.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan
yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan
dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
4.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai
pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak;
5.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat
pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban
keserikatpekerjaan;
6.
Pengusaha
adalah:
a.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c.
orang perseorangan, persekutuan, atau badan
hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
7.
Perusahaan
adalah:
a.
setiap
bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik
persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
b.
usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
8.
Serikat pekerja/serikat buruh adalah
organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan
maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis,
dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan
kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya;
9.
Pekerja/buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain;
10. Perundingan
bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial;
11. Mediasi
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator
yang netral;
12. Mediator
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator adalah pegawai instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi
syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas
melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan;
13. Konsiliasi
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan
melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang
netral;
14. Konsiliator
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliator adalah seorang atau
lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri,
yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan;
15. Arbitrase
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian
suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial
melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan
penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak
dan bersifat final;
16. Arbiter
Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbiter adalah seorang atau lebih
yang dipilih oleh para pihak yang berselisih dari daftar arbiter yang
ditetapkan oleh Menteri untuk memberikan putusan mengenai perselisihan
kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya
mengikat para pihak dan bersifat final;
17. Pengadilan
Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan
pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan
terhadap perselisihan hubungan industrial;
18.
Hakim
adalah Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasi pada Pengadilan Hubungan
Industrial;
19. Hakim
Ad-Hoc adalah Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc
pada Mahkamah Agung yang pengangkatannya atas usul serikat pekerja/serikat buruh
dan organisasi pengusaha;
20. Hakim
Kasasi adalah Hakim Agung dan Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan
industrial;
21. Menteri
adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal
2
Jenis Perselisihan
Hubungan Industrial meliputi:
a.
perselisihan
hak;
b.
perselisihan
kepentingan;
c.
perselisihan
pemutusan hubungan kerja; dan
d.
perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Pasal
3
(1)
Perselisihan hubungan industrial wajib
diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat;
(2)
Penyelesaian perselisihan melalui bipartit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan;
(3)
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) salah satu pihak menolak untuk
berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan,
maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Pasal
4
(1)
Dalam hal perundingan bipartit gagal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah
pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan;
(2)
Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu
7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas;
(3)
Setelah menerima pencatatan dari salah satu
atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih
penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase;
(4)
Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari
kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator;
(5)
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan
untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh;
(6)
Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan
untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal
5
Dalam
hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan,
maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan
Industrial.
BAB II
TATA
CARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian
Kesatu
Penyelesaian
Melalui Bipartit
Pasal
6
(1)
Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak;
(2)
Risalah
perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
nama
lengkap dan alamat para pihak;
b.
tanggal
dan tempat perundingan;
c.
pokok
masalah atau alasan perselisihan;
d.
pendapat
para pihak;
e.
kesimpulan
atau hasil perundingan; dan
f.
tanggal
serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
Pasal
7
(1)
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.
(2)
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak.
(3)
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak
mengadakan Perjanjian Bersama.
(4)
Perjanjian Bersama yang telah didaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian
Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
(5)
Apabila Perjanjian Bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
(6)
Dalam
hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat pendaftaran
Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka pemohon eksekusi
dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten
melaksanakan eksekusi.
Bagian
Kedua
Penyelesaian
Melalui Mediasi
Pasal
8
Penyelesaian
perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap
kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota.
Pasal
9
Mediator sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
warga
negara Indonesia;
c.
berbadan
sehat menurut surat keterangan dokter;
d.
menguasai
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
e.
berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
f.
berpendidikan
sekurang-kurangnya Strata Satu (S1); dan
g.
syarat
lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
10
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan mediator harus sudah
mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera mengadakan sidang
mediasi.
Pasal
11
(1)
Mediator dapat memanggil saksi atau saksi
ahli untuk hadir dalam sidang mediasi guna diminta dan didengar keterangannya.
(2)
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan
berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal
12
(1)
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh
mediator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh
mediator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga
kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Mediator
wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal
13
(1)
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
(2)
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka:
a.
mediator
mengeluarkan anjuran tertulis;
b.
anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c.
para pihak harus sudah memberikan jawaban
secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis;
d.
pihak yang tidak memberikan pendapatnya
sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e.
dalam hal para pihak menyetujui anjuran
tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya
3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah
selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar
di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum
pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
(3)
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:
a.
Perjanjian Bersama yang telah didaftar
diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian
Bersama;
b.
apabila Perjanjian Bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian
Bersama didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
c.
dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di
luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan
eksekusi.
Pasal
14
(1)
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau
para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan
penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri setempat.
(2)
Penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu
pihak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal
15
Mediator
menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 16
Ketentuan
mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian mediator serta tata kerja
mediasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian Ketiga
Penyelesaian
Melalui Konsiliasi
Pasal
17
Penyelesaian
perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada
kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota.
Pasal
18
(1)
Penyelesaian perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui konsiliasi dilakukan
oleh konsiliator yang wilayah kerjanya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja.
(2)
Penyelesaian oleh konsiliator sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan
penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati
oleh para pihak.
(3)
Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator
yang akan dipilih dan disepakati dari daftar nama konsiliator yang dipasang dan
diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
Pasal
19
(1)
Konsiliator
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, harus memenuhi syarat:
a.
beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
warga
negara Indonesia;
c.
berumur
sekurang-kurangnya 45 tahun;
d.
pendidikan
minimal lulusan Strata Satu (S1);
e.
berbadan
sehat menurut surat keterangan dokter;
f.
berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g.
memiliki
pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun;
h.
menguasai
peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan; dan
i.
syarat
lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2)
Konsiliator yang telah terdaftar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi legitimasi oleh Menteri atau Pejabat yang
berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal
20
Dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan
penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah mengadakan
penelitian tentang duduknya perkara dan selambat-lambatnya pada hari kerja
kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi pertama.
Pasal
21
(1)
Konsiliator dapat memanggil saksi atau saksi
ahli untuk hadir dalam sidang konsiliasi guna diminta dan didengar
keterangannya;
(2)
Saksi atau saksi ahli yang memenuhi panggilan
berhak menerima penggantian biaya perjalanan dan akomodasi yang besarnya
ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal
22
(1)
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh
konsiliator guna penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan
undang-undang ini, wajib memberikan keterangan termasuk membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh
konsiliator terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga
kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Konsiliator
wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal
23
(1)
Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka dibuat Perjanjian
Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh konsiliator dan
didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah
hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti
pendaftaran.
(2)
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui konsiliasi, maka:
a.
konsiliator
mengeluarkan anjuran tertulis;
b.
anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang
konsiliasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
c.
para pihak harus sudah memberikan jawaban
secara tertulis kepada konsiliator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran
tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah
menerima anjuran tertulis;
d.
pihak yang tidak memberikan pendapatnya
sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
e.
dalam hal para pihak menyetujui anjuran
tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka, dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui,
konsiliator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama
untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan
akta bukti pendaftaran.
(3)
Pendaftaran Perjanjian Bersama di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) huruf e dilakukan sebagai berikut:
b.
Perjanjian Bersama yang telah didaftar
diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Perjanjian Bersama;
c.
apabila Perjanjian Bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf e tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka
pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi di Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama di
daftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
d.
dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di
luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan
permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
Pasal
24
(1)
Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a ditolak oleh salah satu pihak atau
para pihak, maka salah satu pihak atau para pihak dapat melanjutkan
penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan
negeri setempat.
(2)
Penyelesaian perselisihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pengajuan gugatan oleh salah satu
pihak.
Pasal
25
Konsiliator
menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.
Pasal
26
(1)
Konsiliator berhak mendapat
honorarium/imbalan jasa berdasarkan penyelesaian perselisihan yang dibebankan
kepada negara;
(2)
Besarnya
honorarium/imbalan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal
27
Kinerja
konsiliator dalam satu periode tertentu dipantau dan dinilai oleh Menteri atau
Pejabat yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.
Pasal
28
Tata
cara pendaftaran calon, pengangkatan, dan pencabutan legitimasi konsiliator
serta tata kerja konsiliasi diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian
Ketiga
Penyelesaian
Melalui Arbitrase
Pasal
29
Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase meliputi perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan.
Pasal
30
(1)
Arbiter yang berwenang menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial harus arbiter yang telah ditetapkan oleh
Menteri.
(2)
Wilayah
kerja arbiter meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal
31
(1)
Untuk dapat ditetapkan sebagai arbiter
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
cakap
melakukan tindakan hukum;
c.
warga
negara Indonesia;
d.
pendidikan
sekurang-kurangnya Strata Satu (S1);
e.
berumur
sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
f.
berbadan
sehat sesuai dengan surat keterangan dokter;
g.
menguasai peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagakerjaan yang dibuktikan dengan sertifikat atau bukti kelulusan
telah mengikuti ujian arbitrase; dan
h.
memiliki
pengalaman di bidang hubungan industrial sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.
(2)
Ketentuan
mengenai pengujian dan tata cara pendaftaran arbiter diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal
32
(1)
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
melalui arbiter dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak yang berselisih.
(2)
Kesepakatan para pihak yang berselisih
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tertulis dalam surat
perjanjian arbitrase, dibuat rangkap 3 (tiga) dan masing-masing pihak
mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama.
(3)
Surat
perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya
memuat:
a.
nama
lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
b.
pokok-pokok persoalan yang menjadi
perselisihan dan yang diserahkan kepada arbitrase untuk diselesaikan dan
diambil putusan;
c.
jumlah
arbiter yang disepakati;
d.
pernyataan
para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
dan
e.
tempat,
tanggal pembuatan surat perjanjian, dan tanda tangan para pihak yang
berselisih.
Pasal
33
(2)
Dalam hal para pihak telah menandatangani
surat perjanjian arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) para
pihak berhak memilih arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)
Para pihak yang berselisih dapat menunjuk
arbiter tunggal atau beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang;
(4)
Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk
arbiter tunggal, maka para pihak harus sudah mencapai kesepakatan dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja tentang nama arbiter dimaksud.
(5)
Dalam hal para pihak sepakat untuk menunjuk
beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah gasal, masing-masing pihak berhak
memilih seorang arbiter dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja,
sedangkan arbiter ketiga ditentukan oleh para arbiter yang ditunjuk dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja untuk diangkat sebagai Ketua Majelis
Arbitrase.
(6)
Penunjukan
arbiter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan secara
tertulis.
(7)
Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk
menunjuk arbiter baik tunggal maupun beberapa arbiter (majelis) dalam jumlah
gasal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka atas permohonan salah satu pihak
Ketua Pengadilan dapat mengangkat arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan
oleh Menteri.
(8)
Seorang arbiter yang diminta oleh para pihak,
wajib memberitahukan kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan
mempengaruhi kebebasannya atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan
diberikan.
(9)
Seseorang yang menerima penunjukan sebagai
arbiter sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus memberitahukan kepada para
pihak mengenai penerimaan penunjukannya secara tertulis.
Pasal
34
(1)
Arbiter yang bersedia untuk ditunjuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (8) membuat perjanjian penunjukan
arbiter dengan para pihak yang berselisih.
(2)
Perjanjian penunjukan arbiter sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
a.
nama
lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih dan
arbiter;
b.
pokok-pokok persoalan yang menjadi
perselisihan dan yang diserahkan kepada arbiter untuk diselesaikan dan diambil
keputusan;
c.
biaya
arbitrase dan honorarium arbiter;
d.
pernyataan
para pihak yang berselisih untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase;
e.
tempat, tanggal pembuatan surat perjanjian,
dan tanda tangan para pihak yang berselisih dan arbiter;
f.
pernyataan arbiter atau para arbiter untuk
tidak melampaui kewenangannya dalam penyelesaian perkara yang ditanganinya; dan
g.
tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang
berselisih.
(3)
Perjanjian arbiter sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sekurang-kurangnya dibuat rangkap 3 (tiga), masing-masing pihak dan
arbiter mendapatkan 1 (satu) yang mempunyai kekuatan hukum yang sama;
(4)
Dalam hal arbitrase dilakukan oleh beberapa
arbiter, maka asli dari perjanjian tersebut diberikan kepada Ketua Majelis
Arbiter.
Pasal
35
(1)
Dalam
hal arbiter telah menerima penunjukan dan menandatangani surat perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), maka yang bersangkutan tidak
dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para pihak.
(2)
Arbiter yang akan menarik diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada para
pihak.
(3)
Dalam hal para pihak dapat menyetujui
permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka yang
bersangkutan dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter dalam penyelesaian
kasus tersebut;
(4)
Dalam hal permohonan penarikan diri tidak
mendapat persetujuan para pihak, arbiter harus mengajukan permohonan pada
Pengadilan Hubungan Industrial untuk dibebaskan dari tugas sebagai arbiter
dengan mengajukan alasan yang dapat diterima.
Pasal
36
(1)
Dalam hal arbiter tunggal mengundurkan diri
atau meninggal dunia, maka para pihak harus menunjuk arbiter pengganti yang
disepakati oleh kedua belah pihak.
(2)
Dalam hal arbiter yang dipilih oleh para
pihak mengundurkan diri, atau meninggal dunia, maka penunjukan arbiter
pengganti diserahkan kepada pihak yang memilih arbitrer.
(3)
Dalam hal arbiter ketiga yang dipilih oleh
para arbiter mengundurkan diri atau meninggal dunia, maka para arbiter harus
menunjuk arbiter pengganti berdasarkan kesepakatan para arbitrer.
(4)
Para pihak atau para arbiter sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus sudah mencapai kesepakatan
menunjuk arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja;
(5)
Apabila para pihak atau para arbiter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak
atau salah satu pihak atau salah satu arbiter atau para arbiter dapat meminta
kepada Pengadilan Hubungan Industrial untuk menetapkan arbiter pengganti dan
Pengadilan harus menetapkan arbiter pengganti dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permintaan penggantian arbiter.
Pasal
37
Arbiter
pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus membuat pernyataan
kesediaan menerima hasil-hasil yang telah dicapai dan melanjutkan penyelesaian
perkara.
Pasal
38
(1)
Arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak
berdasarkan perjanjian arbitrase dapat diajukan tuntutan ingkar kepada
Pengadilan Negeri apabila cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan
keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan
berpihak dalam mengambil putusan.
(2)
Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter
dapat pula diajukan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan atau
pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
(3)
Putusan
Pengadilan Negeri mengenai tuntutan ingkar tidak dapat diajukan perlawanan.
Pasal
39
(2)
Hak
ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan ditujukan kepada
Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
(3)
Hak
ingkar terhadap arbiter tunggal yang disepakati diajukan kepada arbiter yang
bersangkutan.
(4)
Hak ingkar terhadap anggota majelis arbiter
yang disepakati diajukan kepada majelis arbiter yang bersangkutan.
Pasal
40
(1)
Arbiter wajib menyelesaikan perselisihan hubungan
industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
penandatanganan surat perjanjian penunjukan arbitrer.
(2)
Pemeriksaan atas perselisihan harus dimulai
dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah penandatanganan surat
perjanjian penunjukan arbitrer.
(3)
Atas kesepakatan para pihak, arbiter
berwenang untuk memperpanjang jangka waktu penyelesaian perselisihan hubungan
industrial 1 (satu) kali perpanjangan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari
kerja.
Pasal
41
Pemeriksaan
perselisihan hubungan industrial oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan
secara tertutup kecuali para pihak yang berselisih menghendaki lain.
Pasal
42
Dalam sidang
arbitrase, para pihak yang berselisih dapat diwakili oleh kuasanya dengan surat
kuasa khusus.
Pasal
43
(1)
Apabila pada hari sidang para pihak yang
berselisih atau kuasanya tanpa suatu alasan yang sah tidak hadir, walaupun
telah dipanggil secara patut, maka arbiter atau majelis arbiter dapat
membatalkan perjanjian penunjukan arbiter dan tugas arbiter atau majelis
arbiter dianggap selesai.
(2)
Apabila pada hari sidang pertama dan
sidang-sidang selanjutnya salah satu pihak atau kuasanya tanpa suatu alasan
yang sah tidak hadir walaupun untuk itu telah dipanggil secara patut, arbiter
atau majelis arbiter dapat memeriksa perkara dan menjatuhkan putusannya tanpa
kehadiran salah satu pihak atau kuasanya.
(3)
Dalam hal terdapat biaya yang dikeluarkan
berkaitan dengan perjanjian penunjukan arbiter sebelum perjanjian tersebut
dibatalkan oleh arbiter atau majelis arbiter sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), biaya tersebut tidak dapat diminta kembali oleh para pihak.
Pasal
44
(1)
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
oleh arbiter harus diawali dengan upaya mendamaikan kedua belah pihak yang
berselisih.
(2)
Apabila perdamaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbiter wajib membuat Akta
Perdamaian yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan arbiter atau
majelis arbiter.
(3)
Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
di wilayah arbiter mengadakan perdamaian;
a.
Pendaftaran
Akta Perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sebagai berikut:
b.
Akta
Perdamaian yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perdamaian;
c.
apabila Akta Perdamaian tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan
eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah Akta Perdamaian didaftar untuk mendapat penetapan eksekusi;
d.
dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di
luar wilayah hukum Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Akta Perdamaian, maka pemohon eksekusi dapat mengajukan permohonan
eksekusi melalui Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di
wilayah domisili pemohon eksekusi untuk diteruskan ke Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang berkompeten melaksanakan eksekusi.
(5)
Apabila upaya perdamaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) gagal, arbiter atau majelis arbiter meneruskan sidang arbitrase.
Pasal
45
(1)
Dalam persidangan arbitrase para pihak diberi
kesempatan untuk menjelaskan secara tertulis maupun lisan pendirian
masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan
pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis
arbiter.
(2)
Arbiter atau majelis arbiter berhak meminta
kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen
atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbiter.
Pasal
46
(1)
Arbiter atau majelis arbiter dapat memanggil
seorang saksi atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih untuk didengar
keterangannya.
(2)
Sebelum memberikan keterangan para saksi atau
saksi ahli wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing.
(3)
Biaya pemanggilan dan perjalanan rohaniawan
untuk melaksanakan pengambilan sumpah atau janji terhadap saksi atau saksi ahli
dibebankan kepada pihak yang meminta.
(4)
Biaya
pemanggilan dan perjalanan saksi atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang
meminta.
(5)
Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau
saksi ahli yang diminta oleh arbiter dibebankan kepada para pihak.
Pasal
47
(1)
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh
arbiter atau majelis arbiter guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan
hubungan industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya, termasuk
membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)
Dalam hal keterangan yang diperlukan oleh
arbiter terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga
kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Arbiter
wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal
48
Terhadap
kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan
oleh arbiter atau majelis arbiter.
Pasal
49
Putusan
sidang arbitrase ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, perjanjian, kebiasaan, keadilan dan kepentingan umum.
Pasal
50
(1)
Putusan
arbitrase memuat:
a.
kepala putusan yang berbunyi "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b.
nama
lengkap dan alamat arbiter atau majelis arbiter;
c.
nama
lengkap dan alamat para pihak;
d.
hal-hal
yang termuat dalam surat perjanjian yang diajukan oleh para pihak yang
berselisih;
e.
ikhtisar
dari tuntutan, jawaban, dan penjelasan lebih lanjut para pihak yang berselisih;
f.
pertimbangan
yang menjadi dasar putusan;
g.
pokok
putusan;
h.
tempat
dan tanggal putusan;
i.
mulai
berlakunya putusan; dan
j.
tanda
tangan arbiter atau majelis arbiter.
(2)
Tidak ditandatanganinya putusan arbiter oleh
salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak
mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
(3)
Alasan tentang tidak adanya tanda tangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.
(4)
Dalam
putusan, ditetapkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja harus sudah
dilaksanakan.
Pasal
51
(1)
(2)
Putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat
akhir dan tetap.
(3)
Putusan arbitrase sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
di wilayah arbiter menetapkan putusan.
(4)
Dalam hal putusan arbitrase sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan fiat eksekusi di Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu harus dijalankan, agar putusan
diperintahkan untuk dijalankan.
(5)
Perintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja setelah permohonan didaftarkan
pada Panitera Pengadilan Negeri setempat dengan tidak memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase
Pasal
52
(1)
(2)
Terhadap putusan arbitrase, salah satu pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditetapkannya putusan
arbiter, apabila putusan diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a.
surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b.
setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
c.
putusan diambil dari tipu muslihat yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
d.
putusan
melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e.
putusan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikabulkan, Mahkamah Agung menetapkan akibat dari pembatalan baik
seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(4)
Mahkamah Agung memutuskan permohonan
pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak menerima permohonan pembatalan.
Pasal
53
Perselisihan
hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak
dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal
54
Arbiter atau majelis arbiter tidak dapat dikenakan
tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses
persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau
majelis arbiter, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari
tindakan tersebut.
BAB
III
PENGADILAN
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
55
Pengadilan Hubungan
Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan
umum.
Pasal 56
Pengadilan Hubungan
Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
b.
di
tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
c.
di
tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
d.
di
tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja;
e.
di tingkat pertama dan terakhir mengenai
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Pasal
57
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan
Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam
undang-undang ini.
Pasal
58
Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial,
pihak-pihak yang beperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi yang
nilai gugatannya di bawah Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal
59
(1)
Untuk pertama kali dengan undang-undang ini
dibentuk Pengadilan Hubungan Industrial pada setiap Pengadilan Negeri
Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Provinsi yang daerah hukumnya
meliputi provinsi yang bersangkutan.
(2)
Di Kabupaten/Kota terutama yang padat
industri, dengan Keputusan Presiden harus segera dibentuk Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal
60
(1)
Susunan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri terdiri dari:
a.
Hakim;
b.
Hakim
Ad-Hoc;
c.
Panitera
Muda; dan
d.
Panitera
Pengganti.
(2)
Susunan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung terdiri dari:
a.
Hakim
Agung;
b.
Hakim
Ad-Hoc pada Mahkamah Agung; dan
c.
Panitera.
Bagian
Kedua
Hakim,
Hakim Ad-Hoc dan Hakim Kasasi
Pasal
61
Hakim Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan
berdasarkan
Keputusan
Ketua Mahkamah Agung.
Pasal
62
Pengangkatan
Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
63
(1)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
(2)
Calon Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung dari nama yang disetujui oleh
Menteri atas usul serikat pekerja/serikat buruh atau organisasi pengusaha.
(3)
Ketua Mahkamah Agung mengusulkan
pemberhentian Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial kepada Presiden.
Pasal
64
Untuk
dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan
Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung, harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
warga
negara Indonesia;
b.
bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
setia
kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.
berumur
paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
e.
berbadan
sehat sesuai dengan keterangan dokter;
f.
berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g.
berpendidikan serendah-rendahnya strata satu
(S.1) kecuali bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung syarat pendidikan sarjana
hukum; dan
h.
berpengalaman
di bidang hubungan industrial minimal 5 (lima) tahun.
Pasal
65
(1)
Sebelum memangku jabatannya, Hakim Ad-Hoc
Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agama atau kepercayaannya, bunyi sumpah atau janji itu adalah sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh
bahwa saya untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga. Saya bersumpah/berjanji bahwa
saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak
sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, akan setia kepada dan
akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
dasar negara, dan ideologi nasional, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku
bagi negara Republik Indonesia. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa
akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak
membedakan orang dan akan melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku".
(2)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan
Negeri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal
66
(1)
Hakim
Ad-Hoc tidak boleh merangkap jabatan sebagai:
a.
anggota
Lembaga Tinggi Negara;
b.
kepala
daerah/kepala wilayah;
c.
lembaga
legislatif tingkat daerah;
d.
pegawai
negeri sipil;
e.
anggota
TNI/Polri;
f.
pengurus
partai politik;
g.
pengacara;
h.
mediator;
i.
konsiliator;
j.
arbiter;
atau
k.
pengurus
serikat pekerja/serikat buruh atau pengurus organisasi pengusaha.
(2)
Dalam hal seorang Hakim Ad-Hoc yang merangkap
jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jabatannya sebagai Hakim Ad-Hoc
dapat dibatalkan.
Pasal
67
(1)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
dan Hakim Ad-Hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena:
a.
meninggal
dunia;
b.
permintaan
sendiri;
c.
sakit
jasmani atau rohani terus menerus selama 12 (dua belas) bulan;
d.
telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi
Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan telah berumur 67 (enam
puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-Hoc pada Mahkamah Agung;
e.
tidak
cakap dalam menjalankan tugas;
f.
atas permintaan organisasi pengusaha atau
organisasi pekerja/organisasi buruh yang mengusulkan; atau
g.
telah
selesai masa tugasnya.
(2)
Masa
tugas Hakim Ad-Hoc untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan
Pasal
68
(1)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a.
dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b.
selama 3 (tiga) kali berturut-turut dalam
kurun waktu 1 (satu) bulan melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya tanpa alasan yang sah; atau
c.
melanggar
sumpah atau janji jabatan.
(2)
Pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah yang bersangkutan
diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan kepada Mahkamah Agung.
Pasal
69
(1)
Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial
sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
ayat (1), dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2)
Hakim Ad-Hoc yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (2).
Pasal
70
(1)
Pengangkatan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan sumber daya yang
tersedia.
(2)
Untuk pertama kalinya pengangkatan Hakim
Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri paling sedikit 5
(lima) orang dari unsur serikat pekerja/serikat buruh dan 5 (lima) orang dari
unsur organisasi pengusaha.
Pasal
71
(1)
Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan
atas pelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda, dan Panitera
Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri sesuai dengan
kewenangannya.
(2)
Ketua Mahkamah Agung melakukan pengawasan
atas pelaksanaan tugas Hakim Kasasi, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti
Pengadilan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung sesuai dengan kewenangannya.
(3)
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Ketua Pengadilan Negeri dapat memberikan petunjuk dan
teguran kepada Hakim dan Hakim Ad-Hoc.
(4)
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Ketua Mahkamah Agung dapat memberikan petunjuk dan
teguran kepada Hakim Kasasi.
(5)
Petunjuk dan teguran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim, Hakim Ad-Hoc
dan Hakim Kasasi Pengadilan Hubungan Industrial dalam memeriksa dan memutus
perselisihan.
Pasal
72
Tata cara pengangkatan, pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian dengan tidak hormat, dan pemberhentian sementara Hakim Ad-Hoc
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69
diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 73
Tunjangan
dan hak-hak lainnya bagi Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial diatur
dengan Keputusan Presiden.
Bagian
Ketiga
Sub
Kepaniteraan dan Panitera Pengganti
Pasal
74
(1)
Pada setiap Pengadilan Negeri yang telah ada
Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Muda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh beberapa orang Panitera
Pengganti.
Pasal
75
(1)
Sub
Kepaniteraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) mempunyai tugas:
a.
menyelenggarakan
administrasi Pengadilan Hubungan Industrial; dan
b.
membuat
daftar semua perselisihan yang diterima dalam buku perkara.
(2)
Buku perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b sekurang-kurangnya memuat nomor urut, nama dan alamat para pihak,
dan jenis perselisihan.
Pasal
76
Sub
Kepaniteraan bertanggung jawab atas penyampaian surat panggilan sidang,
penyampaian pemberitahuan putusan dan penyampaian salinan putusan.
Pasal
77
(1)
Untuk pertama kali Panitera Muda dan Panitera
Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial diangkat dari Pegawai Negeri Sipil
dari instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(2)
Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara
pengangkatan, dan pemberhentian Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan
Hubungan Industrial diatur lebih lanjut menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal
78
Susunan
organisasi, tugas, dan tata kerja Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial diatur dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal
79
(1)
Panitera
Pengganti bertugas mencatat jalannya persidangan dalam Berita Acara.
(2)
Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditandatangani oleh Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera Pengganti.
Pasal
80
(1)
Panitera Muda bertanggung jawab atas buku perkara
dan surat-surat lainnya yang disimpan di Sub Kepaniteraan.
(2)
Semua buku perkara dan surat-surat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) baik asli maupun foto copy tidak boleh
dibawa keluar ruang kerja Sub Kepaniteraan kecuali atas izin Panitera Muda.
BAB IV
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian
Kesatu
Penyelesaian
Perselisihan Oleh Hakim
Paragraf
1
Pengajuan
Gugatan
Pasal
81
Gugatan
perselisihan hubungan industrial diajukan kepada Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh
bekerja.
Pasal
82
Gugatan oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 dan Pasal 171 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1
(satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak
pengusaha.
Pasal
83
(1)
Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri
risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi, maka hakim Pengadilan
Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada penggugat.
(2)
Hakim berkewajiban memeriksa isi gugatan dan
bila terdapat kekurangan, hakim meminta penggugat untuk menyempurnakan
gugatannya.
Pasal
84
Gugatan
yang melibatkan lebih dari satu penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan
memberikan kuasa khusus
Pasal 85
(1)
Penggugat
dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban.
(2)
Apabila tergugat sudah memberikan jawaban
atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh
Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.
Pasal
86
Dalam hal perselisihan hak dan/atau perselisihan
kepentingan diikuti dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja, maka
Pengadilan Hubungan Industrial wajib memutus terlebih dahulu perkara
perselisihan hak dan/atau perselisihan kepentingan.
Pasal
87
Serikat
pekerja/serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa
hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili
anggotanya.
Pasal
88
(1)
Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima gugatan harus sudah
menetapkan Majelis Hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang Hakim sebagai Ketua
Majelis dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc sebagai Anggota Majelis yang memeriksa
dan memutus perselisihan.
(2)
Hakim Ad-Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya diusulkan oleh
serikat pekerja/serikat buruh dan seorang Hakim Ad-Hoc yang pengangkatannya
diusulkan oleh organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(2).
(3)
Untuk membantu tugas Majelis Hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk seorang Panitera Pengganti.
Paragraf
2
Pemeriksaan
dengan Acara Biasa
Pasal
89
(1)
Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak penetapan Majelis Hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah
melakukan sidang pertama.
(2)
Pemanggilan untuk datang ke sidang dilakukan
secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada para pihak di
alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui
disampaikan di tempat kediaman terakhir.
(3)
Apabila pihak yang dipanggil tidak ada di
tempat tinggalnya atau tempat tinggal kediaman terakhir, surat panggilan
disampaikan melalui Kepala Kelurahan atau Kepala Desa yang daerah hukumnya
meliputi tempat tinggal pihak yang dipanggil atau tempat kediaman yang
terakhir.
(4)
Penerimaan surat panggilan oleh pihak yang
dipanggil sendiri atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan.
(5)
Apabila
tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, maka surat
panggilan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung Pengadilan Hubungan
Industrial yang memeriksanya.
Pasal
90
(1)
(2)
Majelis Hakim dapat memanggil saksi atau
saksi ahli untuk hadir di persidangan guna diminta dan didengar keterangannya.
(3)
Setiap orang yang dipanggil untuk menjadi
saksi atau saksi ahli berkewajiban untuk memenuhi panggilan dan memberikan
kesaksiannya di bawah sumpah.
Pasal
91
(1)
Barang siapa yang diminta keterangannya oleh
Majelis Hakim guna penyelidikan untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berdasarkan undang-undang ini wajib memberikannya tanpa syarat,
termasuk membukakan buku dan memperlihatkan surat-surat yang diperlukan.
(2)
Dalam hal keterangan yang diminta Majelis
Hakim terkait dengan seseorang yang karena jabatannya harus menjaga
kerahasiaan, maka harus ditempuh prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Hakim
wajib merahasiakan semua keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal
92
Sidang sah apabila
dilakukan oleh Majelis Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1).
Pasal
93
(1)
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak
tidak dapat menghadiri sidang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
Ketua Majelis Hakim menetapkan hari sidang berikutnya.
(2)
Hari sidang berikutnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak tanggal penundaan.
(3)
Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah
satu atau para pihak diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan.
Pasal
94
(1)
Dalam hal penggugat atau kuasa hukumnya yang
sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak
datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93 ayat (3), maka gugatannya dianggap gugur, akan tetapi penggugat
berhak mengajukan gugatannya sekali lagi.
(2)
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya yang
sah setelah dipanggil secara patut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 tidak
datang menghadap Pengadilan pada sidang penundaan terakhir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 93 ayat (3), maka Majelis Hakim dapat memeriksa dan memutus
perselisihan tanpa dihadiri tergugat.
Pasal
95
(1)
Sidang
Majelis Hakim terbuka untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain.
(3)
Setiap orang yang hadir dalam persidangan
wajib menghormati tata tertib persidangan.
(4)
Setiap orang yang tidak menaati tata tertib
persidangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setelah mendapat peringatan
dari atau atas perintah Ketua Majelis Hakim, dapat dikeluarkan dari ruang
sidang.
Pasal
96
(1)
Apabila dalam persidangan pertama, secara
nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Hakim Ketua Sidang harus segera menjatuhkan Putusan
Sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak
lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
(2)
Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dijatuhkan pada hari persidangan itu juga atau pada hari persidangan
kedua.
(3)
Dalam hal selama pemeriksaan sengketa masih
berlangsung dan Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak juga
dilaksanakan oleh pengusaha, Hakim Ketua Sidang memerintahkan Sita Jaminan
dalam sebuah Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4)
Putusan Sela sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan
perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal
97
Dalam putusan Pengadilan Hubungan Industrial ditetapkan
kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak
atau salah satu pihak atas setiap penyelesaian perselisihan hubungan
industrial.
Paragraf
3
Pemeriksaan
dengan Acara Cepat
Pasal
98
(1)
Apabila terdapat kepentingan para pihak
dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari
alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah
satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2)
Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja
setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua
Pengadilan Negeri mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak
dikabulkannya permohonan tersebut.
(3)
Terhadap
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak digunakan upaya hukum.
Pasal
99
(1)
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 98 ayat (2), menentukan majelis hakim, hari, tempat, dan waktu
sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan.
(2)
Tenggang
waktu untuk jawaban dan pembuktian kedua belah pihak, masing-masing ditentukan
tidak melebihi 14 (empat belas) hari kerja.
Paragraf
4
Pengambilan
Putusan
Pasal
100
Dalam
mengambil putusan, Majelis Hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada,
kebiasaan, dan keadilan.
Pasal
101
(1)
Putusan
Majelis Hakim dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2)
Dalam hal salah satu pihak tidak hadir dalam
sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua Majelis Hakim memerintahkan
kepada Panitera Pengganti untuk menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak
yang tidak hadir tersebut.
(3)
Putusan Majelis Hakim sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai putusan Pengadilan Hubungan Industrial.
(4)
Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pasal
102
(1)
Putusan
Pengadilan harus memuat:
a.
kepala
putusan berbunyi: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA";
b.
nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat
kediaman atau tempat kedudukan para pihak yang berselisih;
c.
ringkasan
pemohon/penggugat dan jawaban termohon/tergugat yang jelas;
d.
pertimbangan terhadap setiap bukti dan data
yang diajukan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.
alasan
hukum yang menjadi dasar putusan;
f.
amar
putusan tentang sengketa;
g.
hari, tanggal putusan, nama Hakim, Hakim
Ad-Hoc yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak
hadirnya para pihak.
(2)
Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan
Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal
103
Majelis
Hakim wajib memberikan putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam waktu selambat-lambatnya 50 (lima puluh) hari kerja terhitung sejak
sidang pertama.
Pasal
104
Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ditandatangani oleh
Hakim, Hakim Ad-Hoc dan Panitera Pengganti.
Pasal
105
Panitera Pengganti Pengadilan Hubungan Industrial dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah putusan Majelis Hakim
dibacakan, harus sudah menyampaikan pemberitahuan putusan kepada pihak yang
tidak hadir dalam sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2).
Pasal
106
Selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari kerja setelah putusan ditandatangani, Panitera Muda harus
sudah menerbitkan salinan putusan.
Pasal
107
Panitera
Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah
salinan putusan diterbitkan harus sudah mengirimkan salinan putusan kepada para
pihak.
Pasal
108
Ketua
Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang
dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau
kasasi.
Pasal
109
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan putusan akhir dan
bersifat tetap.
Pasal
110
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan
Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja
mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada
Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja:
a.
bagi
pihak yang hadir, terhitung sejak putusan di bacakan dalam sidang majelis
hakim;
b.
bagi
pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.
Pasal
111
Salah
satu pihak atau para pihak yang hendak mengajukan permohonan kasasi harus
menyampaikan secara tertulis melalui Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Pasal
112
Sub Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja
terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi harus sudah menyampaikan
berkas
perkara kepada Ketua Mahkamah Agung.
Bagian
Kedua
Penyelesaian
Perselisihan Oleh Hakim Kasasi
Pasal
113
Majelis Hakim Kasasi terdiri atas satu orang Hakim Agung
dan dua orang Hakim Ad-Hoc yang ditugasi memeriksa dan mengadili perkara
perselisihan hubungan industrial pada Mahkamah Agung yang ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal
114
Tata
cara permohonan kasasi serta penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan
pemutusan hubungan kerja oleh Hakim Kasasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
115
Penyelesaian
perselisihan hak atau perselisihan pemutusan hubungan kerja pada Mahkamah Agung
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan kasasi.
BAB V
SANKSI
ADMINISTRASI DAN KETENTUAN PIDANA
Bagian
Kesatu
Sanksi
Administratif
Pasal
116
(1)
Mediator yang tidak dapat menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja tanpa alasan yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dapat
dikenakan sanksi administratif berupa hukuman disiplin sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil.
(2)
Panitera Muda yang tidak menerbitkan salinan
putusan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah
putusan ditandatangani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dan Panitera yang
tidak mengirimkan salinan kepada para pihak paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 dapat dikenakan sanksi administratif
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
117
(1)
Konsiliator
yang tidak menyampaikan anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 14
(empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) butir b
atau tidak membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama dalam waktu
selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(2) huruf e dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2)
Konsiliator yang telah mendapatkan teguran
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator.
(3)
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan yang
sedang ditanganinya.
(4)
Sanksi administratif pencabutan sementara
sebagai konsiliator diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal
118
Konsiliator dapat
dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai konsiliator
dalam hal:
a.
konsiliator telah dijatuhi sanksi
administratif berupa pencabutan sementara sebagai konsiliator sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali;
b.
terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan;
c.
menyalahgunakan
jabatan; dan atau
d.
membocorkan
keterangan yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
Pasal
119
(1)
Arbiter yang tidak dapat menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja dan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) dan ayat (3) atau tidak membuat berita acara kegiatan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, dapat dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2)
Arbiter yang telah mendapat teguran tertulis
3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan sementara sebagai arbiter.
(3)
Sanksi sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(2) baru dapat dijatuhkan setelah yang bersangkutan menyelesaikan perselisihan
yang sedang ditanganinya.
(4)
Sanksi administratif pencabutan sementara
sebagai arbiter diberikan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal
120
(1)
Arbiter
dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter
dalam hal:
a.
arbiter paling sedikit telah 3 (tiga) kali
mengambil keputusan arbitrase perselisihan hubungan industrial melampaui
kekuasaannya, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d dan e dan Mahkamah Agung telah
mengabulkan permohonan peninjauan kembali atas putusan-putusan arbiter
tersebut;
b.
terbukti
melakukan tindak pidana kejahatan;
c.
menyalahgunakan
jabatan;
d.
arbiter telah dijatuhi sanksi administratif
berupa pencabutan sementara sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam Pasal
119 ayat (2) sebanyak 3 (tiga) kali.
(2)
Sanksi
administratif berupa pencabutan tetap sebagai arbiter sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mulai berlaku sejak tanggal arbiter menyelesaikan perselisihan yang
sedang ditanganinya
Pasal
121
(1)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119 dan Pasal 120 dijatuhkan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Tata
cara pemberian dan pencabutan sanksi akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri.
Bagian
Kedua
Ketentuan
Pidana
Pasal
122
(1)
Barang
siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
Pasal 22 ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 47 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (3), dikenakan sanksi pidana kurungan
paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)
Perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
BAB VI
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
123
Dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial pada
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah, maka
perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
BAB
VII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
124
(1)
Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2)
Dengan terbentuknya Pengadilan Hubungan
Industrial berdasarkan undang-undang ini, perselisihan hubungan industrial dan
pemutusan hubungan kerja yang telah diajukan kepada:
b.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Daerah atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka diselesaikan
oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat;
c.
Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf a
yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari,
maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
d.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat atau lembaga-lembaga lain yang setingkat yang menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial atau pemutusan hubungan kerja dan belum diputuskan, maka
diselesaikan oleh Mahkamah Agung;
e.
Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Pusat atau lembaga-lembaga lain sebagaimana dimaksud pada huruf c
yang ditolak dan diajukan banding oleh salah satu pihak atau para pihak dan
putusan tersebut diterima masih dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari,
maka diselesaikan oleh Mahkamah Agung.
BAB
VIII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
125
(1)
Dengan
berlakunya undang-undang ini, maka:
a.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227); dan
b.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja Di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor
93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2686); dinyatakan tidak berlaku
lagi.
(2)
Pada saat undang-undang ini mulai berlaku,
semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1227) dan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Di
Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2686) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal
126
Undang-undang ini
mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG
KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 6
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2004
TENTANG
PENYELESAIAN
PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
I.
UMUM
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan
kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan
perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.
Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama
ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenai
keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan
perundang-undangan.
Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan
oleh pemutusan hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang
selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah
serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini disebabkan
karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang
didasari oleh kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu
hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat
dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap
mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan
keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian,
sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini
akan dapat menyelesaikan kasus-kasus pemutusan hubungan kerja yang tidak
diterima oleh salah satu pihak.
Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam
dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi
pekerja/buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan
tidak dapat dibatasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu
perusahaan ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat
pekerja/serikat buruh yang pada umumnya berkaitan dengan masalah keanggotaan
dan keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum
mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini
digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi,
karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi
pihak dalam perselisihan hubungan industrial.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini
digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial
hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan
secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
pekerja/buruh secara perseorangan belum terakomodasi.
Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan
ditetapkannya putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak
pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin
panjang.
Penyelesaian
perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih
sehingga
dapat
diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian bipartit ini
dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak
manapun.
Namun demikian, pemerintah dalam upayanya untuk memberikan
pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha,
berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial
tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang
bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih.
Dengan
adanya era demokratisasi di segala bidang, maka perlu diakomodasi keterlibatan
masyarakat dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui
konsiliasi atau arbitrase.
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya,
telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan.
Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang
ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan
industrial.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan dimaksud di atas, undang-undang ini mengatur
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh:
a.
perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai
keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
b.
kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau
para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau
peraturan perundang-undangan;
c.
pengakhiran
hubungan kerja;
d.
perbedaan pendapat antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan
kewajiban keserikat pekerjaan.
Dengan
cakupan materi perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas,
maka undang-undang ini memuat pokok-pokok sebagai berikut.
1. Pengaturan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang terjadi baik di perusahaan
swasta maupun perusahaan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
2. Pihak
yang berperkara adalah pekerja/buruh secara perseorangan maupun organisasi
serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha atau organisasi pengusaha. Pihak
yang berperkara dapat juga terjadi antara serikat pekerja/serikat buruh dengan
serikat pekerja/serikat buruh lain dalam satu perusahaan.
3. Setiap
perselisihan hubungan industrial pada awalnya diselesaikan secara musyawarah
untuk mufakat oleh para pihak yang berselisih (bipartit).
4. Dalam
hal perundingan oleh para pihak yang berselisih (bipartit) gagal, maka salah
satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya pada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
5. Perselisihan
kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja atau Perselisihan antara;
serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan dapat diselesaikan melalui konsiliasi atas
kesepakatan kedua belah pihak, sedangkan penyelesaian perselisihan melalui
arbitrase atas kesepakan kedua belah pihak hanya perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada kesepakatan
kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihannya melalui konsiliasi atau
arbitrase, maka sebelum diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih
dahulu melalui mediasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari menumpuknya
perkara perselisihan hubungan industrial di pengadilan.
6. Perselisihan
Hak yang telah dicatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
tidak dapat diselesaikan melalui konsiliasi atau arbitrase namun sebelum
diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial terlebih dahulu melalui mediasi.
7. Dalam
hal Mediasi atau Konsiliasi tidak mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam
perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Hubungan Industrial.
8. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial melalui arbitrase dilakukan berdasarkan
kesepakatan para pihak dan tidak dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan
Industrial karena putusan arbitrase bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam
hal-hal tertentu dapat diajukan pembatalan ke Mahkamah Agung.
9. Pengadilan
Hubungan Industrial berada pada lingkungan peradilan umum dan dibentuk pada
Pengadilan Negeri secara bertahap dan pada Mahkamah Agung.
10. Untuk
menjamin penyelesaian yang cepat, tepat, adil dan murah, penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial yang
berada pada lingkungan peradilan umum dibatasi proses dan tahapannya dengan
tidak membuka kesempatan untuk mengajukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi,
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut
perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat langsung
dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri yang menyangkut perselisihan kepentingan dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan
merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir yang tidak dapat di mintakan
kasasi ke Mahkamah Agung.
11. Pengadilan
Hubungan Industrial yang memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan
industrial dilaksanakan oleh Majelis Hakim yang beranggotakan 3 (tiga) orang,
yakni seorang Hakim Pengadilan Negeri dan 2 (dua) orang Hakim Ad-Hoc yang
pengangkatannya diusulkan oleh organisasi pengusaha dan organisasi
pekerja/organisasi buruh.
12. Putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
13. Untuk
menegakkan hukum ditetapkan sanksi sehingga dapat merupakan alat paksa yang lebih
kuat agar ketentuan undang-undang ini ditaati.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Perselisihan hak
adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam
perjanjian
kerja, peraturan
perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah
perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat
pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan dalam pasal
ini memberikan kebebasan bagi pihak yang berselisih untuk secara bebas memilih cara
penyelesaian perselisihan yang mereka kehendaki.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Oleh
karena mediator adalah seorang pegawai negeri sipil, maka selain syarat -syarat
yang ada dalam pasal ini harus dipertimbangkan pula ketentuan yang mengatur
tentang pegawai negeri sipil pada umumnya.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Saksi ahli yang
dimaksudkan dalam pasal ini adalah seseorang yang mempunyai keahlian khusus di
bidangnya termasuk
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah
atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang
ditunjuk mediator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur
yang ditentukan.
Contoh: Dalam hal seseorang meminta
keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank
apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kearsipan dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup
jelas. Ayat (2)
Huruf a
Yang
dimaksudkan dengan anjuran tertulis adalah pendapat atau saran tertulis yang
diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan
perselisihan mereka.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1 )
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai
pengajuan gugatan yang diatur dalam ayat ini sesuai dengan tatacara
penyelesaian
perkara
perdata pada peradilan umum.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup Jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup,jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan
syarat lain dalam huruf i ini adalah antara lain: pengaturan tentang standar
kompetensi
konsiliator, pelatihan calon atau konsiliator, seleksi bagi calon konsiliator,
dan masalah
teknis lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan membukakan buku dan
memperlihatkan surat-surat dalam pasal ini adalah antara lain buku tentang upah
atau surat perintah lembur dan lain-lain yang dilakukan oleh orang yang
ditunjuk mediator.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur
yang ditentukan.
Contoh: Dalam hal seseorang meminta
keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank
apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang bersangkutan
(Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian pula ketentuan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan
dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Penetapan
dalam pasal ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, oleh
karena itu tidak setiap orang dapat bertindak sebagai arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Mengingat keputusan
arbiter ini mengikat para pihak dan bersifat akhir dan tetap, arbiter haruslah
mereka yang kompeten
di bidangnya, sehingga kepercayaan para pihak tidak sia-sia.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ay4t (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Arbiter yang
ditetapkan Pengadilan tidak boleh arbiter yang telah pernah ditolak oleh para
pihak atau para
arbiter tetapi harus
arbiter lain.
Pasal 3
Yang
dimaksud dengan menerima hasil-hasil yang telah dicapai bahwa arbiter pengganti
terikat pada hasil arbiter yang digantikan yang tercermin dalam risalah
kegiatan penyelesaian perselisihan.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Dalam hal terjadi
penggantian arbiter maka jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dihitung sejak
arbiter
pengganti
menandatangani perjanjian arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal
41
Cukup jelas.
Pasal 42
Yang dimaksud surat kuasa khusus dalam pasal ini adalah
kuasa yang diberikan oleh pihak yang berselisih sebagai pemberi kuasa kepada
seseorang atau lebih selaku kuasanya untuk mewakili pemberi kuasa untuk
melakukan perbuatan hukum dan tindakan lainnya yang berkaitan dengan perkaranya
yang dicantumkan secara khusus dalam surat kuasa.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"dipanggil secara patut" dalam ayat ini yaitu para pihak telah
dipanggil berturut-
turut sebanyak 3
(tiga) kali, setiap panggilan masing-masing dalam waktu 3 (tiga) hari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan membukakan buku dan memperlihatkan
surat -surat dalam pasal ini adalah, misalnya buku tentang upah atau surat
perintah lembur dan dilakukan oleh orang yang ahli soal pembukuan yang ditunjuk
oleh arbiter.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan keterangan
kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur yang
ditentukan.
Contoh: Dalam hal seseorang meminta
keterangan tentang rekening milik pihak lain akan dilayani oleh pejabat bank
apabila telah ada ijin dari Bank Indonesia atau dari pemilik rekening yang
bersangkutan (Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan). Demikian
pula ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kearsipan dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Upaya hukum melalui
permohonan pembatalan dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pihak
berselisih yang
dirugikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ketentuan dalam pasal
ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
−
Berhubung Daerah Khusus Ibukota Jakarta
merupakan Ibu Kota Provinsi sekaligus Ibu Kota Negara Republik Indonesia
memiliki lebih dari satu Pengadilan Negeri, maka Pengadilan Hubungan Industrial
yang dibentuk untuk pertama kali dengan undang-undang ini adalah Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
−
Dalam hal di ibukota provinsi terdapat
Pengadilan Negeri Kota dan Pengadilan Negeri Kabupaten, maka Pengadilan
Hubungan Industrial menjadi bagian Pengadilan Negeri Kota.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan kata "segera" dalam ayat ini adalah bahwa dalam waktu
6 (enam) bulan sesudah undang-undang ini berlaku.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan
sumpah/janji diucapkan kata -kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing,
misalnya untuk penganut agama Islam "Demi Allah" sebelum lafal sumpah
dan untuk penganut agama Kristen/Katholik kata-kata "Kiranya Tuhan akan
menolong saya" sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan sakit jasmani atau rohani terus menerus adalah sakit yang
menyebabkan penderita tidak mampu lagi melakukan tugasnya dengan baik.
Huruf d.
Cukup jelas.
Huruf e.
Yang
dimaksud dengan tidak cakap menjalankan tugas misalnya sering melakukan
kesalahan dalam menjalankan tugas karena kurang mampu.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang
dimaksud tunjangan dan hak-hak lainnya adalah tunjangan jabatan dan hak-hak
yang menyangkut kesejahteraan.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam penyempurnaan gugatan, Panitera atau Panitera
Pengganti dapat membantu penyusunan/menyempurnakan gugatan. Untuk itu Panitera
atau Panitera Pengganti mencatat dalam daftar khusus yang memuat:
−
nama
lengkap dan alamat atau tempat kedudukan para pihak;
−
pokok-pokok
persoalan yang menjadi perselisihan atau objek gugatan;
−
dokumen-dokumen,
surat-surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh penggugat.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Yang dimaksud dengan serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini meliputi pengurus pada tingkat
perusahaan, tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi dan pusat baik serikat
pekerja/serikat buruh, anggota federasi, maupun konfederasi.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Oleh karena pada jabatan-jabatan tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan harus menjaga kerahasiaannya, maka permintaan
keterangan kepada pejabat dimaksud sebagai saksi ahli harus mengikuti prosedur
yang ditentukan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 92
Ketentuan
sahnya persidangan dalam pasal ini dimaksudkan setiap sidang harus dihadiri
oleh Hakim dan seluruh Hakim Ad-Hoc yang telah ditunjuk untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Permintaan putusan
sela disampaikan bersama-sama dengan materi gugatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Dengan ketentuan ini
berarti jangka waktu membuat putusan asli dan salinan putusan dibatasi selama
14
(empat belas) hari
kerja agar tidak merugikan hak para pihak.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Yang
dimaksud dengan Pengadilan Negeri setempat dalam pasal ini adalah Pengadilan
Negeri yang memutus perkara tersebut.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Tenggang waktu dalam pasal ini dimaksudkan untuk
mempersiapkan penyediaan dan pengangkatan Hakim dan Hakim Ad Hoc, persiapan
sarana dan prasarana seperti penyediaan kantor dan ruang sidang Pengadilan
Hubungan Industrial.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4356
Tidak ada komentar:
Posting Komentar